
Aku akan kembali. Setelah sembilan masa gerhana hati. Tumbuh. Tumbuh di atas nisan penyesalanmu. – Fonna Melania-
Acara mingguan salah satu komunitas Sukabumi di Sunda Coffee beberapa hari lalu bertajuk “Ciwangi” diawali dengan beberapa pementasan: tari tradisional, karinding, dan pembacaan puisi. Puisi “Aku Sri” dibacakan oleh Fonna Melania, salah seorang pengrajin batik Kota Sukabumi. Rintihan, ledakan, keharuan, sekaligus harapan mewarnai pembacaan setiap bait dengan diksi atau pilihan kata metaforis.
Memang bukan hal aneh, suasana yang terbangun dalam puisi tersebut begitu meledak-ledak, selain ditulis oleh pembacanya sendiri, kemelekatan Fonna Melania dengan profesi yang sedang dijalaninya begitu erat. Salah satu kalimat yang disampaikan pada acara tersebut, hal yang membuktikan kedekatan dirinya dengan alam yaitu: biarkanlah alam yang mendikte diri kita. Hal ini sejalan dengan pandangan beberapa filsuf alam Pra-Socrates yang menyebutkan, hanya dengan mematuhi hukumnya, alam dapat mempersembahkan dirinya bagi manusia.
Menghubungkan batik dengan reforma agraria sebagai tema besar dalam acara tersebut –saya pikir- merupakan langkah bagus meskipun sulit. Bagaimanapun juga, menghubungkan berbagai bidang yang tampak sangat partikular atau terpisah dengan bidang-bidang lainnya diperlukan semangat bagaimana kita mengambil sari pati setiap bidang tersebut. Beruntung sekali, batik Lokatmala sejak didirikan benar-benar konsern pada bagaimana menghadirkan batik yang ramah lingkungan, meracik dan menggunakan pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan, mempertimbangkan dampak ekologis dalam produksinya.
Alasan lain yang dapat menghubungkan tema antara ngabatik dengan reforma agraria yaitu pemilihan salah satu motif batik Lokatmala: Ciwangi. Motif batik yang diciptakan oleh Lokatmala dengan latar belakang cerita rakyat Nyimas Tjai Wangi. Tokoh utama dalam cerita ini, Nyimas Tjai Wangi merupakan perempuan yang peduli terhadap lingkungan dan mencoba mempertahankan keanekaragaman hayati di tengah desakan keserakahan salah satu raksasa bernama Yaksha Purusha (Meganthropus Paleojavanicus).
Hubungan kausalitas antara ngabatik dengan reforma agraria dapat dilustrasikan sebagai berikut: motif pada batik sebagai sebuah simbol harus dimaknai dan disampaikan secara berulang (repetitif) kepada masyarakat memiliki pesan moral semangat menjaga lingkungan. Lingkungan yang terjaga akan mendukung sepenuhnya pemanfaatan lahan sesuai dengan fungsinya. Terkesan idealis namun jika nilai-nilai tersebut tidak diejawantahkan baik melalui regulasi atau gerakan masyarakat akan berdampak pada kerusakan ekologis. Tanpa berpikir jernih, lahan terbuka hijau, sawah,hutan, dan ladang sebagai penyangga utama reforma agraria secara perlahan akan mengalami disfungsi.
Bukan hanya Lokatmala, komunitas-komunitas lain di Sukabumi juga harus mulai mengarahkan kegiatan yang dapat memicu pemerintah bersama masyarakat bagaimana seharusnya lahan terbuka yang tersedia dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya. Merujuk salah satu bait puisi “Aku Sri”, Yang tidak lagi kau muliakan//Yang kau singkirkan perlahan dalam alasan// Kau gadaikan // Kau jual // Kau alihfungsikan// Kau rampas pijakan baktiku. Jangan hanya karena alasan-alasan tersebut, lahan di Bumi yang seharusnya –Menurut Gandhi- dapat mencukupi seluruh penghuni planet ini justru menjadi pemicu tindakan-tindakan irasional manusia seperti rebutan lahan, penguasaan sumber daya alam oleh beberapa kelompok, dan melahirkan hal paradoks: manusia kelaparan di wilayah agraris.
Manusia dan Pemanfaatan Lahan
Pertumbuhan ukuran otak manusia terus berlangsung dalam kurun 60.000 tahun, peradaban baru lahir dari sebuah revolusi agrikultur. Domestikasi beragam tumbuhan dan binatang dilakukan oleh manusia. Cerita Kabil dan Habil sebetulnya dapat mewakili dua jenis masyarakat: pengelola peternakan dan pertanian. Sebelum memasuki revolusi pertanian pada kurun waktu 13.000 sampai dengan 10.000 tahun lalu, peradaban pendatang baru di Bumi yang dikenal dengan sebutan homo sapiens, baru sampai pada tahap bagaimana mereka dapat berjuang mempertahankan hidup bersama binatang-binatang buas pemilik piramida tertinggi rantai makanan saat itu.
Tentu saja, perkembangan peradaban manusia dari titik awal sampai dua revolusi –revolusi kognitif dan pertanian– di atas tidak berjalan mulus. Dualitas di dalam kehidupan berperan sebagai penyeimbang, secara telaten memengaruhi perkembangan sejarah. Populasi meningkat, pemukiman tradisional terbentuk, koordinasi dilakukan oleh para leluhur manusia, kemakmuran lahir. Masyarakat berburu dan peramu masih memandang padi, gandum, dan sumber makanan pokok –sama sekali– bukan sumber makanan yang layak dikonsumsi. Padi dan tumbuhan lain, sebelum kesadaran terhadap pentingnya domestikasi tumbuhan masih disejajarkan dengan rerumputan dan semak perdu.
Revolusi kognitif –merupakan proses alamiah pertumbuhan ukuran otak manusia– telah membangun ruang-ruang penyimpanan dan dapur picu yang lebih cepat dari sebelumnya. Homo sapiens mulai menerjemahkan alam, memikirkan jalan keluar, dan menemukan hal-hal baru yang belum pernah dikenal dan dilakukan oleh nenek moyang mereka di era sebelumnya. Revolusi agrikultur mengharuskan keterlibatan manusia dalam jumlah banyak. Masyarakat komunal terbentuk. Di saat pemukiman-pemukiman diciptakan, ruang terbuka dibagi menjadi dua, tempat tinggal dan lahan pertanian. Dapur picu di dalam otak manusia tidak sekadar dapat menerjemahkan peristiwa yang terjadi secara logis, otak manusia juga didesain untuk membuat formulasi dan sistesis dari beragam data yang ada, hingga menimbulkan data baru dalam bentuk imajiner.
Konsepsi keberadaan kekuatan lain yang lebih besar dari kehendak manusia mulai termanifestasi dalam bentuk keyakinan. Mitologi lahir, terkesan secara sporadis. Dari dunia Timur hingga Barat manusia mulai mengenalkan konsep adikodrati sebagai perancang semesta. Partikel keyakinan dalam otak manusia memang telah dibenamkan sejak awal kelahirannya. Berisisan dengan era revolusi agrikultur, sistesis antara upaya manusia dalam bercocok tanam dengan keyakinan primer telah merumuskan konsepsi dewa dan dewi penjaga kesuburan tanah.
Masyarakat Sunda mulai memperkenalkan Sri Pohaci, Athena sebagai dewi kesuburan diyakini oleh orang-orang Yunani Kuno, Venus dan Minerva dipuja sebagai dewi kecantikan sekaligus sebagai dewi kesuburan oleh orang-orang Romawi, Freyja dilantunkan dalam sair nordik setiap musim panen tiba. Orang-orang Timur Tengah mengenalkan Isthaar atau Easter sebagai dewi kesuburan. Lahirnya keyakinan dalam mitologi setiap peradaban memiliki tujuan bagaimana mereka dapat tetap bersatu dan memosisikan diri bahwa manusia hanya merupakan bagian terkecil dari luasnya semesta.
Mengapa dewi Sri disebut sebagai dewi kesuburan? Pada zaman dahulu, leluhur kita memiliki anggapan padi-padi di sawah ini ditumbuhkan oleh dewi Sri, jika mereka menyiapkan sesaji salah satu bentuk ungkapan rasa syukur dan ucapan terima kasih kepada sang dewi. Mereka memiliki anggapan ketika dewi Sri ini bahagia, dia akan meneteskan air mata, kemudian menjadi hujan, turun ke bumi, dan menyuburkan tanaman padi yang akan ditanam di musim berikutnya. Manusia memiliki konsepsi seperti dalam bait pertama “Aku Sri”, Aku cinta pertamamu setelah ASI ibumu// Energi pagi harimu// Belaian tulus di siangmu// Cumbu pengantar tidurmu.
Walakin, jika upacara-upacara sebagai ungkapan rasa syukur itu tidak dilakukan, kemarahan dari dewa-dewi akan ditimpakan dan dirasakan oleh manusia. Para dewa-dewi akan menurunkan bala, hama, dan wabah penyakit. Tanaman apapun tidak akan tumbuh dengan baik, sawah dan kebun dirusak oleh hama, melahirkan kelaparan, dan tentu saja berujung pada kematian. Jadi, mereka menyimpulkan, adanya peristiwa alam yang baik merupakan bentuk keramahan para dewa sementara ketika terjadi keburukan hal ini merupakan bentuk kemarahan para dewa. Hingga pada akhirnya: Ketika aku hilang// Juga Kau// Lenyap// Punah.
Agar para dewa dan dewi di alam kahyangan tersebut tetap berbahagia, maka dilakukanlah berbagai macam upacara, persembahan, sesaji, hingga menyembelih binatang dan menguburkan kepalanya. Karena orang-orang di zaman dulu meyakini bahwa kehidupan di kahyangan tidak jauh berbeda dengan kehidupan di Bumi. Para dewa dan dewi itu senang berpesta-pora, makan dan minum, merasa haus akan sanjungan, iri jika manusia mengalami kemajuan atau kesuksesan, dan akan marah besar jika keinginanan mereka tidak dicukupkan oleh manusia.
Dapur Picu yang Memanas
Otak manusia berkembang bukan sekadar bertambah ukuranya, sel-sel yang terbentuk pun semakin bercabang. Ruang penyimpanan data semakin besar sebanding dengan bertambahnya kinerja dapur picu. Pertumbuhan jumlah manusia mengharuskan manusia mampu mengatur dirinya sendiri, bagaimana lahan pertanian yang sebelumnya dikelola secara komunal, kemudian harus diparsialkan menjadi kepemilikan secara individual. Pengaturannya berlangsung berdasarkan peran penting manusia dalam masyarakat komunal tersebut. Karena –seperti pandangan Hobbes– kehidupan di era manapun selalu identik dengan monster bernama Leviathan, pembagian lahan pertanian juga dilakukan mengikuti hukum alam, siapa yang kuat dan lebih mendominasi, dia yang mendapatkan lahan terluas. Kenyataan ini di kemudian hari membentuk sistem feodal, kepemilikan lahan tanpa dibatasi oleh sebagian kecil orang.
Reforma agraria hadir untuk membatasi dapur picu otak manusia yang sering memperlihatkan pikiran serakah daripada harus berbagi dengan orang lain. Meskipun, pada salah satu bagian pentas sejarah, regulasi ini sering dimanfaatkan secara politis dan dijadikan titian pijakan untuk meraih kekuasaan. Misalnya, dalam kurun waktu lima tahun sejak 1960-1965, reforma agraria sering dibahasakan oleh Partai Komunis Indonesia untuk mengelabui masyarakat dengan program pembagian lahan secara cuma-cuma jika partai ini tampil sebagai pemenang. Hal tersebut sejalan dengan bait: Hanya aku yang mampu memuaskan syahwatmu// selama berkali kali putaran kehidupan// Sampai pada saat kau terjerat pesona palsu //Kau berpaling pada silau bidadari beraroma kesugihan.
Tidak sepenuhnya pandangan penulis terhadap puisi “Aku Sri” ini sesuai dengan maksud dari pengarannya. Apalagi ketika dikorelasikan dengan reforma agraria dan sejarah revolusi agrikultur yang dialami oleh manusia. Paling tidak, pemaknaan terhadap puisi ini dapat membantu kita merenungkan ulang kegelisahan manusia modern, kelak pada saatnya nanti, ledakan populasi akan disertai dengan penyempitan ketersediaan lahan. Migrasi manusia ke planet lain untuk menemukan lahan-lahan baru di luasnya semesta memang mungkin dilakukan saat manusia meninggalkan Bumi yang telah layu dan kering. Dan itu tidak perlu terjadi. (*)
AKU SRI
Oleh: Fonna Melania
Aku cinta pertamamu setelah ASI ibumu
Energi pagi harimu
Belaian tulus di siangmu
Cumbu pengantar tidurmu
Aku Sri
Yang kau janjikan sejiwa, hingga panen tiba
Tumbuh dengan doa, sekaligus fantasimu
Setia aku menahan deras hujan
Juga terik matahari dalam sepi
Menunggu pinangan malam pertama, penuh puja-puji
Aku Sri
Matang bersolek warna keemasan
Hanya untuk merunduk
Menyerah
Pasrah
Untuk kau gagahi lumat lumat
Atas nama budaya
Aku Sri
Hanya aku yang mampu memuaskan syahwatmu, selama berkali-kali putaran kehidupan
Sampai pada saat kau terjerat pesona palsu
Kau berpaling pada silau bidadari beraroma kesugihan
Aku Sri
Hanya untuk merunduk
Menyerah
Pasrah
Untuk kau gagahi lumat lumat
Atas nama budaya
Aku Sri
Hanya aku yang mampu memuaskan syahwatmu, selama berkali-kali putaran kehidupan
Sampai pada saat kau terjerat pesona palsu
Kau berpaling pada silau bidadari beraroma kesugihan
Aku Sri
Yang tidak lagi kau muliakan
Yang kau singkirkan perlahan dalam alasan
Kau gadaikan
Kau jual
Kau alihfungsikan
Kau rampas pijakan baktiku
Aku Sri
Ketika aku hilang
Juga Kau...
Lenyap...
Punah....
Aku Sri
Aku akan kembali,
Setelah sembilan masa gerhana hati.
Tumbuh...
Tumbuh di atas nisan penyesalanmu.
Aku Sri
Yang kau singkirkan perlahan dalam alasan
Kau gadaikan
Kau jual
Kau alihfungsikan
Kau rampas pijakan baktiku
Aku Sri
Ketika aku hilang
Juga Kau...
Lenyap...
Punah....
Aku Sri
Aku akan kembali,
Setelah sembilan masa gerhana hati.
Tumbuh...
Tumbuh di atas nisan penyesalanmu.
Aku Sri
Sumber Tulisan: Radar Sukabumi
0 Komentar